Kalau Guru Harus Viral Dulu Baru Didengar, Ada yang Salah dengan Budaya Belajar Kita

Di era digital dan media sosial yang serba cepat seperti sekarang, fenomena viral sering kali menjadi tolok ukur popularitas dan kredibilitas seseorang, termasuk dalam dunia pendidikan. Tidak jarang guru-guru yang memiliki metode pengajaran unik atau konten menarik menjadi terkenal karena video atau postingan mereka viral di internet. scatter hitam Namun, muncul pertanyaan penting: apakah guru harus viral dulu baru didengar dan dihargai? Jika iya, apakah ada yang salah dengan budaya belajar kita?

Popularitas vs. Kualitas Pengajaran

Media sosial memberikan ruang besar bagi guru untuk berbagi ilmu secara kreatif dan menjangkau lebih banyak siswa. Guru yang mampu memanfaatkan platform digital seringkali mendapat perhatian dan pengakuan yang luas. Sayangnya, dalam beberapa kasus, popularitas ini terkadang lebih dipengaruhi oleh aspek hiburan atau viralitas dibandingkan kualitas pedagogik yang sebenarnya.

Idealnya, guru dihargai bukan karena seberapa banyak likes atau views yang mereka dapatkan, melainkan karena kemampuan mereka mendidik, memahami siswa, dan membuat pembelajaran efektif dan bermakna. Ketergantungan pada viralitas sebagai tolok ukur dapat menggeser fokus dari esensi pendidikan itu sendiri.

Dampak Negatif Budaya Viral pada Pendidikan

Budaya viral yang mengedepankan sensasi dan popularitas dapat menimbulkan beberapa masalah dalam dunia belajar, antara lain:

  • Superfisialitas pembelajaran
    Siswa mungkin lebih tertarik pada konten yang menghibur daripada yang mendalam dan bermakna, sehingga kualitas pembelajaran menurun.

  • Guru merasa tertekan harus tampil “heboh”
    Beberapa guru mungkin merasa wajib membuat konten viral agar diperhatikan, mengorbankan kualitas dan kedalaman materi.

  • Pengabaian guru yang kurang “viral” tapi kompeten
    Guru yang mengajar dengan metode efektif dan konsisten tapi tidak aktif di media sosial bisa terpinggirkan dan kurang mendapat penghargaan.

Mengapa Budaya Belajar Perlu Diperbaiki?

Pendidikan adalah proses yang membutuhkan kedalaman, konsistensi, dan interaksi manusia yang autentik. Jika perhatian hanya tertuju pada apa yang viral, kita kehilangan nilai-nilai tersebut. Budaya belajar harus fokus pada substansi, pemahaman kritis, dan pembentukan karakter, bukan sekadar hiburan atau popularitas.

Siswa dan orang tua perlu dilatih untuk menghargai kualitas pembelajaran, dan guru juga didukung untuk mengembangkan kemampuan mengajar yang profesional dan inovatif tanpa harus tergantung viralitas.

Membangun Budaya Belajar yang Sehat

Untuk memperbaiki budaya belajar, dibutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak:

  • Sekolah dan lembaga pendidikan perlu memberikan pelatihan dan penghargaan berdasarkan kualitas dan dampak pengajaran, bukan hanya jumlah followers atau likes.

  • Orang tua dan siswa harus diberi pemahaman tentang pentingnya proses belajar yang mendalam dan bagaimana menilai guru bukan dari popularitas digital.

  • Guru didorong untuk terus mengembangkan metode pembelajaran yang relevan dan efektif, serta menggunakan media sosial sebagai alat bantu, bukan tujuan utama.

Kesimpulan

Jika guru harus viral dulu baru didengar, itu merupakan tanda adanya ketidakseimbangan dalam budaya belajar kita. Pendidikan seharusnya lebih menekankan pada kualitas, proses, dan kedalaman daripada sekadar popularitas sesaat. Mengembalikan fokus pada esensi pembelajaran akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat, produktif, dan bermakna bagi semua pihak—guru, siswa, dan masyarakat.